Liga Bukber
Ini adalah suatu tulisan semenjak saya mulai mengkaji soal konflik kapitalisme dan ideologi sosialisme yang turut andil dalam mencari solusi kesejahteraan, kapitalisme mengusahakan kesejahteraan secara individu sedangkan sosialisme memberikan pandangan bahwa adanya kesejahteraan sosial atau kolektif yang mesti dicapai. Tulisan ini saya buat pada malam paling keberkahan dibulan ramadhan dimana orang-orang agamis mengupayakan semaksimal mungkin untuk menemukan keutaman seribu malam dengan harapan mampu mendapatkan kehidupan yang di dambakan.
Bulan ramadhan, bulan yang penuh keberkahan yang dimana setiap perbuatan kebaikan dinilai berlipat ganda di sisi yang maha kuasa. Bulan dimana silaturahmi makin berjalan dengan adanya buka puasa bersama atau biasa disingkat bukber, bahkan agenda bukber dilakukan di tiap kalangan baik itu dari teman kerja, teman kuliah, teman sekolah, terutama teman-teman lembaga yang turut mengadakannya.
Sungguh budaya yang tidak ada habisnya ketika kita bercerita terkait hal tersebut. Tidak ada yang masalah tentang silaturahminya, tapi yang masalah adalah mulai munculnya kelas. Kelas yang menimbulkan kastanisasi dalam pelaksanaannya sehingga yang di fokuskan bukanlah siapa orang-orang yang hadir melainkan lokasi diadakannya bukber tersebut. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai pengalaman yang didapatkan bukanlah fokusan utama melainkan dimana lokasi pelaksanaan. Mereka sangat bersemangat menceritakan tempat pelaksanaannya, entah itu hotel ataukah direstoran bahkan hal tersebut memicu perbandingan antara tempat yang satu dengan yang lain dengan indikator kemewahan tempat beserta eksistensinya. Tidak luput dari orang-orang yang tersudutkan ketika melaksanakan bukber di tempat sederhana seperti di warteg yang biasa saja bahkan hanya di masjid sehingga memicu orang-orang untuk saling berbondong-bondong untuk mencari dimana tempat termewah yang akan dituju bukan mengaktualkan esensi dari bukber itu sendiri. Sejauh ini, munafik rasanya ketika kita menafikkan doktrin kapitalisme. Doktrin yang sebegitu kuat sampai ajang peribadatan dijadikan perbandingan hingga menghasilkan kelas, bahkan sekedar filantropi semata didasarkan indikator kebersamaan bahwa hubungan sosial akan terjadi ketika adanya alat tukar. Orang yang memiliki ekonomi menengah dipaksa untk mengikuti arus atas dasar solidaritas. Sungguh memprihatinkan.